
Kontroversi Penerbitan Ulang Buku Sejarah Resmi Indonesia: Penundaan, Kritik Ilmiah, dan Dampaknya
Latar Belakang Penerbitan Ulang Buku Sejarah
Sejarah adalah salah satu fondasi identitas nasional sebuah bangsa. Di Indonesia, buku sejarah resmi yang digunakan di sekolah-sekolah tidak hanya menjadi sumber pembelajaran, tetapi juga alat pembentukan persepsi kolektif mengenai perjalanan negara. Pada Agustus 2025, pemerintah merencanakan penerbitan ulang buku sejarah resmi sebagai bagian dari program revisi kurikulum.
Namun, proyek ini langsung memicu kontroversi ketika bocoran naskah revisi beredar di kalangan akademisi dan media. Sejumlah sejarawan menilai bahwa ada banyak bagian sejarah yang dihapus atau diubah tanpa penjelasan yang jelas. Kritikus menyebut fenomena ini sebagai upaya “mengedit masa lalu” yang dapat merugikan generasi muda dalam memahami fakta sejarah.
Pemerintah awalnya berargumen bahwa revisi dilakukan untuk menyederhanakan materi, menyesuaikan dengan perkembangan riset terbaru, dan memperbaiki kesalahan faktual. Namun, sebagian kalangan melihatnya sebagai langkah politis untuk membentuk narasi sejarah sesuai kepentingan tertentu.
Kritik Ilmiah terhadap Naskah Revisi
Gelombang kritik ilmiah terhadap naskah buku sejarah yang direvisi datang dari berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, lembaga riset, dan organisasi masyarakat sipil. Sejarawan menyoroti hilangnya pembahasan detail tentang peristiwa penting seperti tragedi 1965, konflik Aceh, kerusuhan Mei 1998, dan reformasi politik awal 2000-an.
Menurut para akademisi, penghilangan atau penyederhanaan ekstrem terhadap peristiwa tersebut dapat menciptakan historical amnesia atau amnesia sejarah, di mana generasi mendatang kehilangan akses pada fakta utuh. Beberapa juga menyoroti adanya penekanan berlebihan pada prestasi pemerintahan tertentu, sementara kegagalan atau kontroversi diabaikan.
Laporan kritik yang disusun oleh Asosiasi Sejarawan Indonesia menekankan bahwa revisi sejarah harus dilakukan secara transparan, melibatkan tim lintas generasi dan disiplin ilmu, serta mematuhi etika akademik. Mereka memperingatkan bahwa jika revisi dilakukan secara sepihak, buku sejarah akan berubah dari sumber pengetahuan menjadi alat propaganda.
Alasan Pemerintah Melakukan Penundaan
Setelah kritik publik semakin meluas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan menunda penerbitan buku sejarah revisi hingga dilakukan kajian ulang. Pemerintah beralasan bahwa proses revisi harus memperhatikan keseimbangan antara pembaruan materi dan kelengkapan fakta.
Penundaan ini juga dimaksudkan untuk membuka ruang dialog antara pemerintah, akademisi, guru, dan masyarakat. Dalam pernyataan resminya, Mendikbud menyebutkan bahwa pihaknya akan membentuk tim verifikasi independen untuk memeriksa setiap perubahan, memastikan bahwa tidak ada fakta penting yang dihilangkan atau dimanipulasi.
Langkah ini disambut baik oleh sebagian pihak, meski ada kekhawatiran bahwa penundaan hanya bersifat sementara dan revisi tetap akan dilanjutkan dengan substansi yang sama setelah sorotan publik mereda.
Dampak Penundaan bagi Dunia Pendidikan
Penundaan penerbitan buku sejarah revisi berdampak langsung pada dunia pendidikan. Sekolah-sekolah harus tetap menggunakan buku sejarah lama, yang menurut sebagian pengamat sudah tidak sepenuhnya relevan dengan temuan riset terbaru.
Di sisi lain, penundaan ini memberi kesempatan bagi guru untuk memperkaya materi ajar dengan sumber alternatif, termasuk buku independen, jurnal akademik, dan arsip digital. Hal ini dapat mendorong pembelajaran sejarah yang lebih kritis, di mana siswa diajak membandingkan berbagai perspektif dan sumber informasi.
Namun, tanpa panduan resmi yang jelas, risiko terjadinya kesenjangan kualitas pengajaran antar sekolah menjadi besar. Sekolah dengan akses literatur yang baik bisa memberikan materi sejarah yang komprehensif, sementara sekolah dengan sumber terbatas mungkin hanya mengandalkan buku lama yang belum diperbarui.
Sejarah sebagai Arena Politik
Kontroversi buku sejarah ini menegaskan kembali bahwa sejarah bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga medan pertarungan politik masa kini. Banyak negara, termasuk Indonesia, pernah mengalami periode di mana narasi sejarah dikendalikan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan.
Sejarah yang diajarkan di sekolah sering kali dipilih dan disusun sedemikian rupa untuk membentuk identitas nasional tertentu. Masalahnya, ketika narasi ini disusun tanpa ruang bagi perbedaan pendapat, sejarah berubah menjadi monolit yang menutup kemungkinan diskusi kritis.
Polemik buku sejarah revisi menjadi pengingat bahwa masyarakat perlu terlibat aktif dalam mengawasi bagaimana sejarah diajarkan, agar generasi mendatang mendapatkan gambaran yang adil dan utuh.
Kesimpulan
Penundaan penerbitan ulang buku sejarah resmi Indonesia adalah momen penting bagi transparansi dan demokrasi pendidikan. Kritik ilmiah yang muncul menunjukkan bahwa publik tidak tinggal diam terhadap upaya manipulasi sejarah.
Ke depan, proses revisi harus dilakukan secara terbuka, berbasis riset, dan melibatkan berbagai pihak. Sejarah tidak boleh dijadikan alat propaganda, melainkan jendela bagi generasi mendatang untuk memahami masa lalu secara kritis dan objektif.
Referensi